30 Januari, 2010

Kehidupan Akhirat



Ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil
tempat tidak sedikit dalam ayat-ayat Al-Quran. Pertama adalah
uraian serta pembuktian tentang keesaan Allah Swt.; dan kedua
adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir. Al-Quran dan
hadis Nabi Saw. tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk
"mewakili" rukun-rukun iman lainnya. Perhatikan misalnya:

Dan ada orang-orang yang berkata, "Kami telah beriman
kepada Allah dan hari kemudian", padahal (sebenarnya)
mereka bukan orang-orang mukmin (QS Al-Baqarah [2]:
8).

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah
adalah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS
Al-Tawbah [9]: 18).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja
diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada
kekhawatiran untuk mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati (QS Al-Ma'idah [5]: 69).

Perhatikan juga sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan:

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
maka hendaklah dia berkata benar atau diam. Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah
ia menghormati tamunya.

Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat
dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada
Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari
akhir. Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal
perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya
dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena
kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari
kemudian nanti.

Banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari
akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum
Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara
pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.

Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara
panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan
pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24
kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115
kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa
besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.

Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran,
dan uraian itu -yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan
berlawanan- diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan
Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut
-bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa
pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh
Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula
pembuktiannya.

Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa
"kebiasaan Allah Swt. adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan
hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok,
yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya
mungkin1 dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat
diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'i
(rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan
kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk
membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am
(6): 72-73.

Walaupun berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dalam
rangka menyusun disertasi, apa yang dikemukakan di atas tidak
sepenuhnya benar. Namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan ayat
Al-Qur'an yang berbicara tentang hari kebangkitan memang
sifatnya demikian, apalagi jika dirangkaikan dengan ayat
sebelum dan sesudahnya. Penyebutan kedua sifat itu agaknya
merupakan argumen singkat menghadapi keraguan atau penolakan
kaum musyrik menyangkut hari kiamat yang berdalih: "Apakah
Tuhan mampu menghidupkan kembali tulang-belulang dan yang
telah menyatu dengan tanah? Apakah Dia mengetahui
bagian-bagian tubuh manusia yang telah berserakan bahkan telah
bercampur dengan sekian banyak makhluk selainnya?"

Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara rinci
seluruh persoalan "hari akhir" yang dikemukakan Al-Quran.
Namun, semoga hal-hal pokok yang berkaitan dengannya dapat
dikemukakan.

AL-QURAN MENGHADAPI PENGINGKAR HARI AKHIR

Menghadapi para pengingkar, Al-Qur'an seringkali mengemukakan
alasan-alasan pengingkaran, baru kemudian menanggapi dan
menolaknya. Hal demikian terlihat dengan jelas dalam uraian
Al-Qur'an tentang hari akhir.

Pada umumnya masyarakat Arab meragukan bahkan mengingkari
adanya hari akhir; sementara yang percaya pun memiliki
kepercayaan keliru.

Mereka berkata: "Jika kami telah menjadi
tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah
benar-benar kami masih akan dibangkitkan dalam bentuk
makhluk yang baru?" (QS Al-Isra, [17]: 49).

Mereka berkata: "Ia (hidup ini) tidak lain kecuali
kehidupan kita di dunia (saja) dan kita tidak akan
dibangkitkan!" (QS Al-An'am [6]: 29).

Bahkan

Mereka bersumpah demi Allah dengan sumpah yang
sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang
yang mati" (QS Al-Nahl [16]: 38).

Aneka ragam cara Al-Qur'an menyanggah pandangan keliru itu,
sekali secara langsung dan di kali yang lain tidak secara
langsung. Dengarkan misalnya Al-Qur'an ketika menyatakan:

Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan
pertemuan dengan Allah. Apabila kiamat datang kepada
mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah
besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami
tentang kiamat"; sambil mereka memikul dosa-dosa
mereka di atas punggung mereka. Sungguh amat buruk apa
yang mereka pikul itu (QS Al-An'am [6]: 31).

Orang-orang kafir (mendustakan) ayat-ayat Allah dan
pertemuan dengan-Nya Mereka itulah yang berputus asa
dari rahmatKu, dan buat mereka siksa yang pedih (QS
Al-'Ankabut [29]: 23).

Anda lihat ayat-ayat di atas dan semacamnya tidak secara
langsung menuding si pengingkar, tetapi kandungan ayat-ayat
itu sedemikian jelas dan tegas menyentuh setiap pengingkar.

Abdul-Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah baina
Al-Falsafah wa Ad-Din, mengibaratkan gaya bahasa demikian
dengan keadaan satu kelompok yang berbicara tentang
pembunuhan. Ketika itu tampil seorang yang menguraikan
kekejaman pembunuh dan akibat-akibat yang akan dialaminya.
Ketika menguraikan hal tersebut, si pembunuh ikut hadir
mendengarkan ucapan-ucapan tadi. Tentu saja, pelaku pembunuhan
dalam hal ini akan merasa bahwa pembicaraan pada hakikatnya
ditujukan kepadanya walaupun dari segi redaksi tidak demikian.
Namun justru karena itu, hal ini malah bisa membawa pengaruh
ke dalam jiwanya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan rasa
takut, atau penyesalan yang mengantarkannya kepada kesadaran
dan pengakuan. Dampak psikologis ini tentu akan berbeda bila
sejak semula pembicara menuding si pelaku kejahatan secara
langsung. Kemungkinan besar ia malahan akan menyangkal. Jadi,
dalam gaya demikian, redaksi-redaksi Al-Quran tidak lagi
mengarah kepada akal manusia, tetapi lebih banyak diarahkan
kepada jiwanya dengan menggunakan bahasa "hati".

Seperti diketahui, bahasa hati tidak (selalu) membutuhkan
argumentasi-argumentasi logis. Karena itu, uraian-uraian
Al-Quran dalam berbagai masalah tidak selalu disertai bukti
argumentatif. Namun hal ini bukan berarti ayat-ayat lain yang
menguraikan hari kebangkitan tidak menggunakan argumentasi
sebagai bahasa untuk akal.

Perhatikan misalnya surat Yasin (36): 78-81 yang mengemukakan
argumentasi filosofis, atau surat Al-Baqarah (2): 259-260,
serta surat Al-Kahf (18): 9-26 yang mengemukakan alasan
historis, atau surat Al-Hajj (22): 5-7 yang menggunakan
analogi, serta surat Al-Najm (53): 31 yang menguraikan
keniscayaannya dari segi tujuan dan hikmah. Berikut ini akan
dikemukakan sekilas beberapa ayat yang menguraikan dalil-dalil
tersebut.

BUKTI-BUKTI KENISCAYAAN HARI AKHIR

Perlukah bukti tentang adanya hari akhir? Kehidupan sesudah
mati pasti adanya. Bukankah makhluk yang termulia adalah
makhluk yang berjiwa? Bukankah yang termulia di antara mereka
adalah yang memiliki kehendak dan kebebasan memilih? Kemudian
yang termulia dari kelompok ini adalah yang mampu melihat jauh
ke depan, serta mempertimbangkan dampak kehendak dan
pilihan-pilihannya. Demikian logika kita berkata. Dari sini
pula jiwa manusia memulai pertanyaan-pertanyaan baru. Sudahkah
semua orang melihat dan merasakan akibat
perbuatan-perbuatannya yang didasarkan oleh kehendak dan
pilihannya itu? Sudahkah yang berbuat baik memetik buah
perbuatannya? Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista
kejahatannya? Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah banyak
manusia-manusia baik yang dicambuk oleh kehidupan dengan
cemeti-cemetinya, dan alangkah banyak pula orang-orang jahat
yang disuapi oleh dunia dengan kenikmatan-kenikmatannya.

Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka
yang mendurhakai Tuhan (tampak) tenang. Ini semua
dilihat oleh mataku, didengar oleh telingaku dan
kuketahui sepenahnya.

Demikian Nabi Ayyub a.s. yang mengalami kepahitan hidup
mengeluh kepada Tuhan.

Karena itu, demi tegaknya keadilan, harus ada satu kehidupan
baru di mana semua pihak akan memperoleh secara adil dan
sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya
masing-masing. Itu sebabnya Al-Quran menamai hidup di akhirat
sebagai al-hayawan yang berarti "hidup yang sempurna"; dan
kematian dinamainya wafat yang arti harfiahnya adalah
"kesempurnaan."

Sekian banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan hakikat di atas,
antara lain:

Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku
dengan sengaja merahasiakan (waktu)-nya. Agar setiap
jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai hasil
usahanya (QS Thaha [20]: 15).

Orang-orang kafir berkata: "Hari kebangkitan tidak
akan datang kepada kami." Katakanlah: "Pasti datang.
Demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya
kiamat itu pasti akan datang kepada kamu. Tidak ada
yang tersembunyi bagi-Nya sebesar zarrahpun yang ada
di langit dan di bumi, dan tidak ada pula yang lebih
kecil daripada itu atau lebih besar, kecuali termaktub
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Supaya Allah
memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. Mereka itu adalah orang-orang yang
baginya ampunan dan rezeki yang mulia; dan orang-orang
yang berusahn (menentang) ayat-ayat Kami dengan
anggapan mereka dapat melepaskan diri dan siksa
(Kami). Mereka itu memperoleh azab yakni (jenis) siksa
yang sangat pedih (QS Saba' [34): 3-5).

Memang ada saja orang-orang yang tidak sabar dan tidak tahan
menunggu. Mereka menghendaki agar perhitungan, ganjaran dan
balasan diadakan segera -paling tidak di dunia ini juga.
Tetapi mereka lupa bahwa hidup dan mati adalah ujian:

(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik
amalnya (QS Al-Mulk [67]: 2).

Apakah mereka yang ingin segera melihat balasan itu menduga
bahwa si pembunuh akan melangkah jika balasan segera
ditimpakan kepadanya? Kemudian apakah masih bermakna suatu
kebaikan bila segera pula dirasakan kesempurnaan ganjarannya?
Jika demikian di mana letak ujiannya?

Manusia dapat menyadari hal-hal di atas. Namun, Al-Quran masih
tetap melayani mereka yang ragu dengan menampilkan dalil-dalil
yang membungkam mereka. Berikut beberapa di antara dalil-dalil
dimaksud.

Pertama, dalam surat Ya Sin (36): 78-83 Allah berfirman,

Dan dia (manusia durhaka) membuat perumpamaan bagi
kami dan dia lupa kepada kejadiannya. Dia berkata,
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang
telah hancur luluh?" Katakanlah (hai Muhammad), "Ia
akan dihidupkan oleh yang menciptakannya kali yang
pertama (Allah). Dia Maha Mengetahui tentang segala
makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari
kayu yang hijau; maka tiba-tiba kamu nyalakan (api)
dari kayu itu (memperoleh bahan bakar darinya). Dan
tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu?
Benar. Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha
Mengetahui. "Sesungguhnya keadaannya apabila Dia
menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya,
"Jadilah," maka terjadilah ia. Mahasuci Dia yang di
tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan
kepadaNyalah kamu dikembalikan.

Mari kita dengar uraian filosof Muslim, Al-Kindi, tentang
kandungan ayat tersebut, sebagaimana dikutip oleh Abdul-Halim
Mahmud dalam bukunya At-Tafkir Al-Falsafi Al-Islam (hlm. 73).
Menurut Al-Kindi:

Ayat ini menegaskan bahwa:

(a)Keberadaan kembali sesuatu setelah kepunahannya adalah
bisa atau mungkin. Karena menghimpun sesuatu yang telah
berpisah-pisah atau mengadakan sesuatu yang tadinya belum
pernah ada, lebih mudah daripada mewujudkannya pertama kali.
Meskipun demikian, bagi Allah tidak ada istilah "lebih mudah
atau lebih sulit". Hakikat ini diungkapkan oleh ayat di atas
ketika menyatakan: Katakanlah bahwa ia akan dihidupkan oleh
yang menciptakannya kalipertama.

(b)Kehadiran atau wujud sesuatu dari sumber yang berlawanan
dengannya bisa terjadi, sebagaimana terciptanya api dari daun
hijau (yang mengandung air). Ini diinformasikan oleh ayat yang
berbunyi: Yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau.

(c)Menciptakan manusia dan menghidupkannya setelah
kematiannya, (lebih mudah bagi Allah) daripada menciptakan
alam raya yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini dipahami dari
firman-Nya: Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?

(d)Untuk menciptakan dan atau melakukan sesuatu, betapa pun
besar dan agungnya ciptaan itu, bagi Tuhan tidak diperlukan
adanya waktu atau materi. Ini jelas berbeda dengan makhluk
yang selalu membutuhkan keduanya. Hal ini bisa dipahami dari
firman-Nya: Jadilah, maka terjadilah ia.

Manusia mana yang mampu dengan fasafah manusia,
menghimpun (informasi) dalam ucapan sebanyak
huruf-huruf ayat diatas, sebagaimana yang telah
dthimpun oleh Allah untuk Rasul-Nya Saw.

Demikian komentar filosof Al-Kindi tentang ayat-ayat di atas.

Kedua, lihat misalnya surat Al-Isra' yang menguraikan
bagaimana pembuktian tentang kepastian hari kiamat -pada
akhirnya ditemukan sendiri melalui tuntunan Al-Quran- oleh
mereka yang tadinya meragukannya. Gaya ini digunakan oleh
Al-Quran agar manusia merasa bahwa ia ikut berperan dalam
menemukan satu kebenaran dan dengan demikian ia merasa
memilikinya serta bertanggung jawab untuk mempertahankannya.

(Mereka bertanya), "Apakah bila kami telah menjadi
tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, masih
dapat dibangkitkan kembali sebagai makhluk-makhluk
yang baru?" Katakanlah, "Jadilah kalian batu, atau
besi, atau apa saja yang menuntut pikiran kalian lebih
mustahil untuk diciptakan kembali." Maka mereka akan
bertanya, "Siapakah yang akan menghidupkan kami
kembali?" Katakanlah, "Yang telah menciptakan kamu
pada kali pertama." Lalu mereka akan
menggeng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata,
"Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah, "Boleh jadi
(dalam waktu) dekat" (QS Al-Isra' [17]: 49-51).

Al-Quran -yang bermaksud melibatkan manusia dalam penemuan
keyakinan tentang hari kebangkitan ini- tidak menjawab
pertanyaan kaum musyrik tadi degan "ya" atau "tidak". Tetapi,
diajukan-Nya suatu problem baru yang belum terlintas dalam
benak si penanya, yaitu dengan pernyataan yang diperintahkan
kepada Nabi Saw. untuk disampaikan seperti terbaca di atas.
Seakan-akan penggalan kata tersebut berbunyi, "Bagaimana
seandainya setelah kematian nanti kalian bukan menjadi
tulang-belulang yang pernah mengalami hidup, tetapi batu-batu
atau besi-besi atau makhluk apa saja yang sama sekali belum
pernah mengalami 'hidup' dan menurut kalian lebih mustahil
untuk dihidupkan?" Pada saat itu Al-Quran mengajak akal mereka
mengajukan pertanyaan yang mereka ajukan semula, "Siapakah
yang akan menghidupkan itu semua kembali?" Jawabannya adalah,
"Dia yang pertama kali mewujudkannya sebelum tadinya ia
tiada." Bukankah mewujudkan sesuatu yang pernah mengalami
"hidup" lebih mudah daripada mewujudkan sesuatu yang belum
pernah berwujud sama sekali.

Di sini terlihat bahwa problem yang mereka ajukan sudah tidak
berarti sama sekali. Bahkan "akal" mereka sendiri kelihatannya
telah menyadari kelemahan argumen merreka, sehingga
menimbulkan pertanyaan baru.

Ketiga, bertitik tolak dan hakikat di atas, seringkali
Al-Quran menganalogikan hari kebangkitan dengan keadaan hujan
yang menimpa tanah yang gersang. Surat Al-Hajj menyeru seluruh
manusia:

Wahai seluruh manusia, kalau kamu sekalian meragukan
hari kebangkitan, maka (sadarilah bahwa) Kami
menciptakan kamu dari tanah, kemudian nuthfah,
kemudian 'alaqah, kemudian mudhgah (sekerat daging)
yang sempurna penciptaannya atau tidak sempurna
penciptaannya, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai
waktu yang telah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, dan (secara berangsur-angsur) kamu
sampai kepada (usia) kedewasaan. Di antara kamu ada
yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan usianya
sampai pikun, supaya (sehingga) dia tidak mengetahui
lagi apa yang tadinya telah diketahui. Dan kamu lihat
bumi itu tandus/mati, kemudian apabila Kami turunkan
air (hujan) di atasnya hiduplah bumi itu dan suburlah
ia serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya
Allah adalah Yang Hak, Dia yang menghidupkan yang
mati, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan hari
kiamat pasti datang. Tidak ada keraguan atasnya dan
Allah membangkitkan semua yang dikubur (QS Al-Hajj
[22]: 5-7).

Manusia berasal dari tanah; bukankah makanannya berasal dari
tumbuhan-tumbuhan dan binatang yang memakan apa yang
terbentang di bumi Allah? Makanan tersebut diolah oleh
tubuhnya, sehingga menghasilkan sperma. Pertemuan sperma dan
ovum menghasilkan 'alaqah' sesuatu yang bergantung di dinding
rahim. Kemudian ini melalui tahap-tahap seperti yang
dikemukakan di atas, sehingga akhirnya manusia mati terkubur
di bawah tanah atau menjadi tanah lagi. Nah apakah mustahil
yang kini menjadi tanah, hidup lagi dengan kehidupan baru?
Bukankah sebelumnya ia pun berasal dari tanah? Bukankah
sehari-hari terlihat pula tanah yang gersang setelah dicurahi
hujan -ditumbuhi pepohonan yang hijau? Kalau demikian mengapa
meragukan kebangkitan? Demikian lebih kurang peringatan ayat
di atas.

Keempat, kematian sama dengan tidur. Begitu pernyataan
Al-Quran.

Allah yang memegang jiwa (orang) saat kematiannya, dan
(memegang) yang belum mati pada saat tidurnya. Maka
Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain (yang
tidur dengan membangunkannya) sampai waktu yang Dia
tentukan ... (QS Al-Zumar [39]: 42).

Untuk membuktikan adanya kebangkitan, Al-Quran menceritakan
apa yang dilakukan Allah terhadap seorang yang mempertanyakan
tentang "bagaimana kebangkitan". Maka ditidurkannya yang
bersangkutan selama seratus tahun, dan Dia menjadikan
makanannya tetap utuh tidak rusak, sedangkan keledainya
menjadi tulang-belulang. (Baca QS Al-Baqarah [2]: 259)

Bahkan sekelompok pemuda yang beriman -yang terpaksa
berlindung ke sebuah gua karena khawatir kekejaman penguasa
masanya-ditidurkan selama tiga ratus tahun lebih, kemudian
dibangunkan kembali oleh Allah. Kisah mereka diuraikan secara
panjang lebar dalam surat Al-Kahf (18): 9-26 dan bekas-bekas
peninggalan mereka berupa gua tempat persembunyian telah
ditemukan beberapa kilometer dari kota Amman, Yordania. Kini
gua itu menjadi salah satu objek yang dikunjungi para
wisatawan dan peziarah.

Demikian sedikit dari dalil dan bukti-bukti yang dikemukakan
Al-Quran untuk menyingkirkan keraguan tentang hari
kebangkitan.

KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH

Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang hari akhir, tetapi
juga memberikan sekian banyak informasi menyangkut
kejadian-kejadian saat kematian. kehidupan barzakh, dan
peristiwa-peristiwa sesudahnya. Dengan kematian, seseorang
beranjak untuk memasuki saat pertama dari hari akhir. Dalam
sebuah riwayat dinyatakan bahwa:

Siapa yang meninggal, maka kiamatnya telah bangkit.

Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang bersangkutan
dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang
dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat
besar, yang ditandai dengan peniupan sangkakala pertama
sebagaimana akan diuraikan nanti.

... sehingga apabila datang kematian kepada seorang di
antara mereka (yang kafir) ia berkata: "Ya Tuhanku,
kembalikanlah aku, agar aku berbnat amal saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan." (Allah
berftrman), "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu
hanyalah perkatan yang diucapkannya saja. Dan di
hadapan mereka ada barzakh (pemisah) sampai hari
mereka dibangkitkan" (QS Al-Mu'minun [23]: 99-100).

Dari segi bahasa, "barzakh" berarti "pemisah". Para ulama
mengartikan alam barzakh sebagai "periode antara kehidupan
dunia dan akhirat". Keberadaan di sana memungkinkan seseorang
untuk melihat kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan di sana
bagaikan keberadaan dalam suatu ruangan terpisah yang terbuat
dari kaca. Ke depan penghuninya dapat melihat hari kemudian,
sedangkan ke belakang mereka melihat kita yang hidup di pentas
bumi ini.

Al-Quran melukiskan keadaan orang-orang kafir ketika itu
dengan firman-Nya:

... Fir'aun beserta kaum (pengikut)-nya dikepung oleh
siksa yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan
neraka pada pagi dan petang. Dan (nanti) pada hari
terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat):
"Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang
sangat keras" (QS Al-Mu'min [40]: 45-46).

Para syuhada ketika itu dilukiskan sebagai orang-orang yang
hidup dan mendapatkan rezeki.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati.
Sebenamya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Jangan sekali-kali menduga yang gugur di jalan Allah
adalah orang-orang mati. Sebenarnya mereka hidup di
sisi Tuhan mereka dan mereka memperoleh rezeki (QS Ali
'Imran [3]: 169).

Sementara orang memahami "ketidakmatian atau kehidupan mereka"
dalam arti keharuman dan kelanggengan nama mereka di dunia
ini. Kalau demikian, mengapa surat Al-Baqarah [2]: 154 di atas
menyatakan "tetapi kamu tidak menyadarinya"? Bukankah
keharuman nama itu kita sadari? Kemudian apakah ganjaran
"kekekalan nama" ini merupakan suatu keistimewaan? Bukankah
ada yang gugur dan dikenal namanya secara harum, padahal
hakikatnya ia tidak dinilai Allah sebagai syuhada karena
kematiannya bukan fi sabilillah? Apakah dengan demikian
dipersamakan antara yang baik dan yang buruk? Di sisi lain,
bagaimana pula halnya dengan para syuhada yang tidak dikenal
dan alangkah banyaknya mereka. Bukankah Allah menyatakan bahwa
mereka hidup dan mendapat rezeki? Kalau demikian apa rezeki
mereka yang tidak dikenal itu? Apakah mereka tidak
mendapatkannya? Kalau demikian di mana keadilan Ilahi?

Cukup banyak ayat yang dapat dijadikan titik pijak bagi adanya
apa yang dinamai kehidupan di alam barzakh. Bacalah misalnya
surat Al-Baqarah (2): 28, Al-Mu'min (40): 11, dan lain
sebagainya. Memang ada juga yang berpegang pada surat Ya Sin
[36]: 52 yang menceritakan ucapan orang-orang kafir saat
ditiupnya sangkakala pertama yaitu:

Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari
tempat tidur kami?

Mereka menyatakan bahwa ayat ini menginformasikan bahwa kaum
kafir ketika itu merasa diri mereka tidur dan terhentak bangun
dengan tiupan sangkakala. Jadi, dalih mereka selanjutnya
adalah "Kalau memang mereka tidur dan terhentak dengan tiupan
sangkakala, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa ada kehidupan
di alam barzakh? Atau ada siksa dan nikmat kubur?"

Hemat penulis, pandangan ini bisa dipertimbangkan untuk
diterima jika ayat tersebut berkata: "Siapakah yang
membangkitkan kami dari tidur kami?" Tetapi, redaksinya adalah
"dari tempat tidur kami" yakni kubur. Di sisi lain harus
dipahami bahwa kubur yang dimaksud di sini bukannya sebidang
tanah tempat jasad mereka dikuburkan, tetapi satu alam yang
kita tidak tahu persis bagaimana keadaannya. Kalaulah ayat di
atas dianggap "tidak jelas maknanya" atau yang diistilahkan
oleh para ulama dengan mutasyabih, maka ayat-ayat lain yang
maknanya cukup jelas (muhkam) seperti sekian banyak ayat yang
telah disinggung sebelum ini -dapat menjadi patokan untuk
memahaminya.

Hadis-hadis Nabi pun -dengan kualitas yang beraneka ragam-
amat banyak yang berbicara tentang alam barzakh, sehingga amat
riskan untuk menolak keberadaan alam itu hanya dengan
menggunakan satu atau dua ayat yang sepintas terlihat berbeda
dengan keterangan-keterangan tersebut. Ketika putra Nabi yang
bernama Ibrahim meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:

Sesungguhnya ada yang menyusukannya di surga (HR
Bukhari).

Imam Ahmad ibn Hanbal, Ath-Thabarani, Ibnu Abi Ad-Dunya, dan
Ibnu Majah meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Abu Said
Al-Khudri, bahwa Nabi Saw. bersabda:

Sesungguhnya yang meninggal mengetahui siapa yang
memandikannya, yang mengangkatnya, yang mengafaninya,
dan siapa yang menurunkannya ke kubur.

Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa,

Apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka
diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang tempat
tinggalnya (kelak di hari kiamat). Kalau dia penghuni
surga, maka diperlihatkan kepadanya (tempat) penghuni
surga; dan kalau penghuni neraka, maka diperlihatkan
(tempat) penghuni neraka. Disampaikan kepadanya bahwa
inilah tempatmu sampai Allah membangkitkanmu ke sana
(HR Bukhari).

Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan sebuah riwayat bahwa
Nabi Saw. setelah selesainya Perang Badar, menuju tempat
pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang tewas ketika itu,
dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:

"Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai
'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai
Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah
kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan
kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah
menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar."
Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai
Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan
kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?" Beliau
menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka
(tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka
tidak dapat menjawab saya."

Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:

"Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin
Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira
orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah
orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan
mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]:
169)." Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami
telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan
beliau bersabda, 'Arwah mereka di dalam rongga burung
(berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung
di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun
mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke
pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka
dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian
menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apalagi yang
kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahaya
di surga, ke mana pun kami kehendaki?" Tuhan melakukan
hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika
mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa
meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami
ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami
sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu
(sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa
mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih
dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka
dibiarkan."'

Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib
bahwa beliau bertanya kepada Yunus bin Zibyan: "Bagaimana
pendapat orang tentang arwah orang-orang mukmin?" Yunus
menjawab: "Mereka berkata bahwa arwahnya berada di rongga
burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita di bawah 'Arsy
llahi." Ali bin Abi Thalib berkomentar:

Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi
Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau,
wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah,
ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana
wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum,
sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka
mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia.

Boleh jadi ada saja yang bertanya bagaimana kehidupan itu?
Kita tidak dapat menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha
mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya hal tersebut
lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian
rtwayat yang dijadikan pegangan.

Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki
"jasad berganda": pertama, jasad duniawi; dan kedua, jasad
barzakhi. Mustafa dalam --Baina 'Alamain-- setelah mengutip
sekian banyak pendapat ulama tentang hal di atas, berusaha
untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan
gelombang-gelombang suara. Contoh konkret yang dikemukakannya
adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang
berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia
saling masuk-memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap
berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tak dapat melihat
sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat
perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu. Apa yang
dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran,
antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang
sekarat:

Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke
kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang
sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat
kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS
AlWaqi'ah [56]: 83-85).

Atau firman-Nya:

Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat
dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).

Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang
dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya
telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan
dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata,
dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya,
sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat
oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut
menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua,
dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata
kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban
Nabi Saw. ketika kaum Muslim mempertanyakan
pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh
kaum musyrik yang gugur dalam peperangan Badar)
sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam
Baina 'Alamain hlm. 51)

Akhirnya betapa pun terdapat sekian banyak ayat dengan
penafsiran-penafsiran di atas, serta ada pula riwayat-riwayat
dari berbagai sumber dan kualitas, namun kita tidak dapat
mencap mereka yang mengingkari kehidupan barzakh, sebagai
orang-orang yang keluar dari keimanan atau ajaran Islam,
selama mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini
disebabkan karena akidah harus diangkat dari nash keagamaan
yang pasti, yaitu Al-Quran dan maknanya pun harus pasti.
sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum
mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah.

KEHIDUPAN AKHIRAT

Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala:

Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan
diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan
keduanya sekali bentur. Maka hari itu terjadilah hari
kiamat, dan terbelahlah langit sehingga hari itu
langit menjadi lemah (QS Al-Haqqah [69]: 13-16).

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:

... dan ditiup sangkakala sehingga matilah siapa
(rnakhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa
yang dikehendaki Allah (QS Al-Zumar [39]: 68).

Yang dikecualikan antara lain adalah malaikat Israfil yang
bertugas meniup sangkakala itu. Ini karena masih akan ada
peniupan kedua sebagaimana lanjutan ayat di atas:

Kemudian ditiupkan sangkakala itu sekali lagi, maka
tiba-tiba mereka (semua yang telah mati) berdiri
menunggu (putusan Tuhan terhadap masing-masing) (QS
Al-Zumar [39]: 68).

Banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang kehancuran
alam raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang
pudar cahayanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang
beterbangan bagaikan kapas, dan sebagainya. Itu semua
merupakan kehancuran total, bukan kehancuran bagian tertentu
saja dari alam raya ini.

Begitu manusia dihidupkan kembali dengan peniupan sangkakala
kedua, tiba-tiba:

Sambil menundukkan pandangan, mereka keluar dari kubur
mereka bagaikan belalang yang beterbangan. Mereka
datang dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang
kafir -ketika itu- berkata: "Ini adalah hari yang
sulit." (QS Al-Qamar [54]: 7-8).

Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah
yang mengetahui kadar waktu itu. Dan ketika semua makhluk
telah meninggal, termasuk Israfil, Allah Swt. "berseru" dan
"bertanya":

Kepunyaan siapakah kerajaan/kekuasaan hari ini?
(Kemudian Allah menjawabnya sendiri): "Kepunyaan Allah
yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan" (QS Mu'min [40]:
16).

Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa kehidupan di dunia
hanya sebentar (QS Al-Isra' [17]: 43) bahkan mereka merasa
hanya bagaikan boberapa saat di sore atau pagi hari (QS
Al-Nazi'at [79]: 46).

Dari sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk
menghadapi pengadilan Ilahi):

Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu
penyaksi (QS Qaf [50]: 21).

Penggiring adalah malaikat dan penyaksi adalah diri manusia
sendiri yang tidak dapat mengelak, atau amal perbuatannya
masing-masing. Begitu penafsiran para ulama.

Dan ketika itu terjadilah pengadilan agung.

Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah
lidah, tangan, dan kaki mereka, menyangkut apa yang
dahulu mereka lakukan (QS Al-Nur [24]: 24).

Bahkan boleh jadi, mulut mereka ditutup dan yang berbicara
adalah tangan mereka kemudian kaki mereka yang menjadi
saksi-saksinya Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36):
65.

Yang ingin diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan
semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat
mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu di
hadapan pengadilan yang maha agung itu.

Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari
kebaikan). maka dia akan melihat (ganjarannya) (QS
Az-Zilzal [99]: 7).

Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).

Pengadilan Ilahi itu akan diadakan terhadap setiap pribadi
mukalaf,

"Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan
datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang
hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah
mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang
teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95)

Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak
ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan
akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21]: 47).
Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya
kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya
dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi
sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:

Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa
yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka
adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan
timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Kami (QS Al-A'raf [7]: 8-9)

Hasil pencatatan amal manusia yang ditimbang itu, akan
diserahkan kepada setiap orang:

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab
(catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan
gembira) ia berkata: "Inilah, bacalah kitabku ini.
Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku yakin bahwa
sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas
diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang
diridhai; dalam surga yang tinggi, buah-buahannya
dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah
dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu
kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)." Adapun
yang diberikan kepadanya kitabnya dari arah kirinya,
maka dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya kiranya
tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak
mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku.
Aduhai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan
segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi
manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" (QS
Al-Haqqah [69]: 19-29).

Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau
neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa
dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai "
shirath" .

Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim
(QS Al-Shaffat [37]: 23).

Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah
berfirman:

Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan
penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba
(mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka
dapat melihatnya? (QS Ya Sin [36]: 66).

Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa:

Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali
melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah
suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian
Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan
membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka
dalam keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72).

Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa
ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui
setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu
terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin
akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas
ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau
seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada
juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga. Sedangkan
orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh
ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.

Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari
pedang,

[kalimat dalam bahasa Arab]

Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim.

Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional
menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas,
lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah
tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak,
bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath.
Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya
adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan
yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan
setiap yang berjalan di atasnya.

Betapapun, pada akhirnya hanya ada dua tempat, surga atau
neraka. Pembahasan tentang surga dan neraka, kita tangguhkan
sampai dengan kesempatan lain. Ini disebabkan karena luasnya
jangkauan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakannya. Bukan saja
uraian tentang aneka kenikmatan dan siksanya, tetapi sampai
kepada rincian peristiwa-peristiwa yang digambarkan Al-Quran
menyangkut perorangan atau kelompok, dan lain sebagainya.

KAPAN HARI AKHIR TIBA?

Al-Quran -demikian juga hadis-hadis Nabi Saw.- yang berbicara
panjang lebar tentang hari akhir dari bermacam-macam aspek
itu, tidak membicarakan sedikit pun tentang masa
kedatangannya. Bahkan secara tegas dalam berbagai ayat serta
hadis dinyatakan bahwa tidak seorang pun mengetahui kapan
kehadirannya.

Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang
hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka)
dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah
dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya) (QS
Al-Nazi'at [79]: 42-44).

Sekian banyak ayat Al-Quran yang mengandung makna serupa,
demikian pula hadis-hadis Nabi Saw. menginformasikannya.

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa malaikat Jibril pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. -dalam rangka mengajar umat
Islam- "Kapan hari kiamat?" Nabi Saw. menjawab: "Tidaklah yang
ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang bertanya."
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi Umar bin
Khaththab).

Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa kedatangannya
tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51,

"Kapankah itu (hari kiamat)?"

Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi Saw. diperintahkan oleh
Allah untuk menjawab:

Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat."

Surat Al-Qamar (54): 1 juga menyatakan bahwa:

Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.

Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan:

Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat)
sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi
berpaling (darinya).

Nabi Saw. juga bersabda:

Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku
dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil
menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk
dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir
bin Abdillah).

Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan hari
akhirat dari segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak
dapat dipahami bahwa kedekatan itu hanya dalam arti besok,
seribu atau sepuluh ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh
jadi juga jika dibandingkan dengan umur dunia yang telah
berlalu sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis
dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan dalam
arti waktu.

Bila kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban
yang diperintahkan kepada Nabi Saw. untuk diucapkan adalah
"Boleh jadi ia dekat." Di sisi lain, ayat Al-Qamar dan
Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk kata kerja masa
lampau untuk satu peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi,
mengandung makna kepastian sehingga kedekatan dalam hal ini
dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang
akan datang adalah dekat, dan segala yang telah berlalu dan
tidak kembali adalah jauh."

Agaknya informasi Al-Quran tentang kedekatan ini, lebih
dimaksudkan untuk menjadikan manusia selalu siap menghadapi
kehadirannya. Karena itu pula, tidak satu atau dua ayat yang
menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti
misalnya firman berikut:

Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah
yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada
mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak
menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107).

Di sisi lain, ditemukan bahwa yang bertanya tentang waktu
kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman.

Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat,
meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan
orang-orang yang beriman merasa takut akan
kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar
(akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang
membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam
kesesatan yang jauh (QS Al-Syura [42]: 18).

Ketakutan tentang hari kiamat akan mengantarkan orang yang
percaya untuk berbuat sebanyak mungkin amal ibadah, sehingga
mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana.

BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN

Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari akhir
mengantar manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif
dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan
keuntungan materi dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat
yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).

Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun
berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu
menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim
datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih
itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.

Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan:

Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?

Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan
dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan.
Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti
mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir
ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Quran
bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka
konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan
surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.

Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap
mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin
karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak
menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya
sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya
akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini
bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan
sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan
perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang
percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak
menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?

Seseorang yarlg kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan
kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada
di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau
pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi
dalam arti hari kemudian.

Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib
di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat
tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji
Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang
memberi bantuan. Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini
janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala
sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya
semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan
bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak
menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya
untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan
keyakinannya itu.

"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda
daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan
sendiri."

Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini
mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama
kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari
akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah,
kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.

Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini,
berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana
terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak
memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau
membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana
tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam
pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi
sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka
pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:

Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan
agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini)
mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara
tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan
hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan
lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong
kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara
sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan
perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia
kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya
adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang
diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak
berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.

Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:

Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar
batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli
itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan
surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut
pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan
kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian
interaksi antarmanusia.

Demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan
tentang hari akhir.

Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang
sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa
berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof.
Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan
energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah
kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.

Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim
dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan
setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi
dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut
-apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang pokok
adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak
kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.

Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu
dan tempatnya, maka kesemua hal ini berada di luar tuntunan
agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof
dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh
kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan
kehangatan iman.

Wa Allahu 'Alam. []

Catatan kaki:

1 Ada tiga kemungkinan yang dapat tergambar dalam benak bagi
sesuatu. Pertama, mustahil wujudnya, misalnya tiga lebih
banyak dari lima. Kedua, mungkin (boleh jadi), misalnya Si A
kaya atau miskin, hidup atau mati. Dan ketiga, pasti wujudnya,
itulah Allah Swt., yang mustahil tergambar dalam benak kita
tentang ketiadaan-Nya.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO